Pages

Sabtu, 06 November 2010

Pura Bukit Mentik di Danau Batur


Pura Bukit Mentik di Danau Batur
Ratu Maduwe Gumi dan Maduwe Gama
Tuhan dalam Mantra Weda XXXII.3, dinyatakan tidak punya bentuk dan nama. Para vipra atau orang-orang bijak dan sucilah yang menyebutnya dengan banyak sebutan. Hal itu untuk memudahkan umat dalam menguatkan hidupnya untuk suatu tujuan mulia. Demikian juga umat awam pun akan menyebutkan berbagai kemahakuasaan Tuhan itu dengan berbagai sebutan sesuai dengan kemantapan hati nuraninya. Yang paling utama sebutan itu menyebabkan umat merasa Tuhan dekat dengan dirinya dan dapat didayagunakan untuk meningkatkan keyakinannya bahwa mereka merasa tertuntun oleh kesucian Tuhan untuk menyelenggarakan hidupnya menuju hidup yang makin baik.
=============================
Demikian juga di Pura Bukit Mentik di Batur Kintamani, Tuhan sebagai pencipta bumi ini disebut oleh umat Ida Batara Maduwe Gumi. Sedangkan Tuhan sebagai pencipta agama disebut Ida Batara Maduwe Gama. Karena dalam mantra Weda dan juga kitab-kitab Sastra Weda dinyatakan bahwa mantra-mantra Weda Sruti itu adalah sabda Tuhan atau non human origin. Artinya bukan berasal dari manusia.
Meskipun Pura Bukit Mentik diperkirakan sudah ada amat jauh sebelum zaman pemerintahan Ida Dalem Klungkung, para orang-orang bijak di Batur Kintamani itu sudah mampu menghadiri budaya religi dalam kemasan budaya lokal, tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai universal yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Tradisi di Pura Bukit Mentik amat nampak merupakan tradisi beragama sebelum Majapahit atau amat kuna, tetapi saat itu sudah berhasil menghasilkan budaya beragama Hindu yang universal dengan kemasan lokal Bali. Seperti istilah sebutan Tuhan sebagai Ida Batara Maduwe Gumi dan Maduwe Gama.
Menurut keterangan Jero Mangku Jenaka atau Jero Mangku Pupul, yang menjadi pemangku khusus di Pelinggih Ida Batara Maduwe Gama adalah Jero Wacik yang sekarang menjabat Menteri Budpar. Beliau diupacarai sebagai pemangku saat berumur delapan tahun pada tahun 1955. Sejak itulah beliau diberi gelar kepemangkuan sebagai Jero Wacik. Sebelumnya Jero Wacik punya nama kecil tersendiri karena belum disakralisasi sebagai pemangku di Pura Bukit Mentik itu.
Demikian Jero Mangku Jenaka menjelaskan yang juga kakak sepupunya Jero Wacik. Jero Mangku Jenaka sesungguhnya bergelar Jero Pupul. Kedua pemangku di Pura Bukit Mentik ini di samping memiliki tugas-tugas umum kepemangkuan di Pura Bukit Mentik juga ada tugas atau swadharma yang lebih khusus. Jero Mangku Jenaka diberi gelar Jero Pupul karena bertugas untuk mengumpulkan dengan cara-cara sakral pratima dan berbagai peralatan sakral di Pura Bukit Mentik di Pelinggih Balai Pesamuan saat ada upacara piodalan dan upacara-upacara besar lainnya. Sedangkan pemangku yang bergelar Jero Wacik bertugas untuk nibakan tirtha atau memercikkan tirtha melalui proses sakral menurut ketentuan keagamaan Hindu di Pura Bukit Mentik tersebut. Karena itulah gelarnya Jero Wacik. Demikian menurut keterangan Jero Mangku Jenaka, saudara sepupu Jero Wacik.
Demikianlah swadharma Jero Pupul atau Jero Mangku Jenaka dan Jero Wacik berbeda tetapi saling melengkapi dalam melakukan posisi ritual sakral di Pura Bukit Mentik. Tugas suci dua pemangku tersebut disertai oleh pemangku-pemangku lainnya yang juga sudah melalui proses sakralisasi. Juga banyak yang muda dari segi umur tetapi telah mendapatkan tuntunan dari pemangku yang lebih senior.
Kembali kita bahas pemujaan Tuhan sebagai Ida Batara Maduwe Gumi dan Ida Batara Maduwe Gama. Pemujaan Tuhan dalam sebutan demikian juga terdapat di Pura Tuluk Biyu, yang juga terdapat di sebelah selatan Pura Ulun Danu Batur di pinggir jalan menuju Singaraja.
Pura Ulun Danu Batur ini berkedudukan sebagai Kahyangan Jagat dalam kedudukannya sebagai Pura Rwa Bhineda dan Pura Padma Bhuwana. Di Pura Bukit Mentik juga ada Pesimpangan Batara Tiga yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur dan Ulun Batur. Pemujaan Ida Batara Maduwe Gumi dan Maduwe Gama ini patut menjadi renungan kita dalam menjaga Bali sebagai pulau kecil bagian dari NKRI.
Meskipun Bali pulaunya kecil tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan yang universal. Bumi ini yang terbangun dari lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta. Memuja Tuhan sebagai Ida Batara Maduwe Gumi, berarti tidak hanya mengaturkan sesaji dan mencakupkan tangan. Tetapi harus dilanjutkan dengan memelihara dan melindungi unsur-unsur Panca Maha Bhuta itu agar senantiasa seimbang sehingga dapat eksis secara alami menjadi sumber yang memberi kehidupan kepada makhluk hidup isi bumi ini.
Sarasamuscaya 135 mengajarkan bahwa manusia baru akan dapat menegakkan tujuan hidupnya mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksha apabila terlebih dahulu manusia itu melakukan Bhuta Hita. Bhuta Hita artinya menyejahterakan alam. Selanjutnya memuja Tuhan sebagai Ida Batara Maduwe Gama artinya bagaimana kita sebagai umat manusia dapat mengimplementasikan agama sabda Tuhan itu menjadi sistem religi yang mampu menjadi landasan moral dan mental pada sistem budaya yang lainnya, sehingga semua sistem budaya itu dapat berperan mengantarkan umat manusia hidup semakin baik, sejahtera dan bahagia.
Prof. Dr. Koentjaraningrat menyatakan ada tujuh sistem budaya yaitu sistem religi, sistem sosial, sistem ilmu pengetahuan, sistem bahasa, sistem seni, sistem mata pencaharian dan sistem teknologi. Prof. Dr. Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa hendaknya sistem religilah yang menjadi landasan moral dan mental dalam mengimplementasikan sistem budaya yang lainnya.
Karena itu menjadi kewajiban kita umat beragama untuk menjabarkan lebih lanjut agama sabda Tuhan yang supra empiris itu menjadi sistem religi yang lebih aplikatif dalam kehidupan yang empiris. Dengan demikian agama sabda Tuhan itu tidak menjadi nilai-nilai suci yang jauh dari kehidupan manusia, bahkan hanya untuk diagung-agungkan dalam ritual tanpa diaktualkan dalam memecahkan berbagai persoalan yang aktual dalam kehidupan individual dan sosial.  * wiana
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/10/bd2.htm
Pura Bukit Mentik di Danau Batur
Tasyarthe Sarvabhutanam
goptaram
dharmamat majam.
Brahma tejomayam dandam
Asrjat
purva isvarah.
(Manawa Dharmasastra VII.14).
Maksudnya:
Demi
untuk patuhnya masyarakat pada norma hidup yang baik, Tuhan telah menciptakan dharma sebagai anaknya untuk melindungi semua makhluk, itulah bentuk kejayaan dari dari Brahman.
TUHAN menciptakan alam seperti bumi ini dengan segala isinya serta menciptakan tuntunan suci yang disebut dharma untuk menuntun kehidupan semua makhluk di bumi ini. Alam dan aturan suci itu sesungguhnya ciptaan dan milik Tuhan. Pura Bukit Mentik dekat Danau Batur terdapat dua Meru Tumpang Tiga berada di sebelah kiri Meru Tumpang Lima yang merupakan pelinggih utama di Pura Bukit Mentik.
Di Meru Tumpang Lima itu dipuja Dewa Danuh yang di Pura Bukit Mentik disebut Ida Ratu Ayu Sembah Suhun. Demikian Jero Mangku Jenaka atau Jero Mengku Pupul menjelaskan. Dua Meru Tumpang Tiga di sebelah kiri Meru Tumpang Lima pelinggih utama di Pura Bukit Mentik itu adalah sebagai stana Ida Ratu Maduwe Gumi dan Ida Ratu Maduwe Gama. Dua Meru Tumpang Tiga di sisi kiri Pelinggih Utama Meru Tumpang Tiga ini memberikan suatu visualisasi untuk memotivasi umat Hindu agar menumbuhkan keyakinan bahwa Tuhan itulah yang memiliki bumi yang diciptakan-Nya. Ini juga sebagai tempat umat manusia hidup dan mengembangkan kehidupannya mewujudkan cita-citanya.
Meru Tumpang Lima stana Dewi Danu yang diberi sebutan Ida Ratu Ayu Sembah Suwun tiada lain adalah pemujaan Tuhan yang bercorak Waisnawa untuk memotivasi umat manusia memahami bahwa air sebagai pelindung dan pemelihara hidup dan kehidupan semua makhluk hidup di bumi ini. Air sebagai Ratna Permata Bumi adalah ciptaan Tuhan yang merupakan unsur mutlak harus ada dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Di setiap pemukiman. Hal ini dinyatakan dalam Chanakya Nitisastra 1.9.
Demikian juga di dalam pemelihara dan perlindungan mata air seperti danau dan sungai ciptaan Tuhan itu merupakan salah satu unsur Sad Kerti yang wajib untuk melindungi bagi manusia yang mendambakan hidup sejahtera. Air akan selalu ada dan terus eksis memberikan hidup dan kehidupan umat manusia apabila bumi yang juga ciptaan Tuhan dipelihara dengan baik sebagai suatu wujud bakti pada Tuhan.
Pedoman untuk memelihara bumi sumber air itu, Tuhan telah menurunkan dharma. Nampaknya konsep hidup dalam memuja Tuhan seperti itulah yang divisualisasikan secara sakral di Pura Bukit Mentik di dekat Danau Batur, Kintamani. Di depan Meru Tumpang Lima terdapat Balai Pesamuan sebagai media yang memvisualisasikan saat Ida Ratu Ayu di Meru Tumpang Lima itu tedun menerima persembahan umat saat ada upacara umum setiap hari raya keagamaan Hindu dan terutama saat ada upacara Pujawali.
Ini artinya saat Ida Ratu Sembah Suhun di alam Suksma atau Sunia Loka disimbolkan berstana di Meru Tumpang Lima. Sedangkan saat beliau ke bumi di alam Wahya dilukiskan di Pelinggih Balai Pesamuan. Karena itu upacara Masineb atau Ngeluhur beliau kembali di Pelinggih Meru Tumpang Lima. Karena Meru itu lambang Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.
Tumpang-tumpang Meru pinaka uriping bhuwana muah patalaing bhuwana. Artinya tumpang-tumpang Meru itu lambang jiwa alam semesta dan juga lambang lapisan alam semesta. Bumi adalah alam yang paling dekat dengan manusia. Bumi ini akan menjadi tempat hidup untuk mengembangkan kehidupan mulia apabila dipelihara dengan spiritual agama sabda Tuhan dan ilmu hasil pengembangan para ahli seperti para Resi.
Oleh karena itu ada Meru Tumpang Tiga di sebelah kiri Meru Tumpang Lima sebagai stana Ida Ratu Maduwe Gama. Ini berarti untuk menata bumi ini hendaknya didasarkan pada petunjuk-petunjuk agama yang dikembangkan menjadi berbagai ilmu oleh para Vipra atau orang-orang bijaksana. Kalau dua hal itu terpadu maka perbukitan yang ada di sekitar Gunung Batur itu akan tumbuh menjadi sumber pengembangan kesejahteraan hidup masyarakat sekitar.
Hal inilah yang mungkin mengapa pura tersebut diberi nama Pura Bukit Mentik atau pura untuk menumbuhkan bukit itu menjadi bukit yang subur makmur. Pura Bukit Mentik ini sebagaimana Pura-pura Kahyangan Jagat lainnya juga memiliki Pura-pura Jajar Kemiri atau Pura Prasanak. Menurut Nyoman Lasteng dan Guru Nengah Suarta sebagai Paduluan Pura Bukit Mentik, ada sepuluh Pura Prasanak Pura Bukit Mentik yang ada di sekitar pura tersebut.
Pura Prasanak tersebut adalah Pura Ratu Gede Pemapas. Pura ini sebagai awal pemujaan untuk menuju Pura Bukit Mentik. Pura ini kemungkinan sebagai pemujaan Batara Gana sebagai Dewa Wighna-ghna tempat mohon Tirtha Pengelukatan agar jangan mendapatkan halangan dalam pejalanan menuju Pura Bukit Mentik sebagai puncak pemujaan.
Seterusnya Pura Belong stana Batara Ratu Mas Magelung. Pura Pandan Harus stana Masula Masuli, selanjutnya Pura Gua yang terletak di sebuah goa terbuka dengan wujud pelinggih mirip Lingga stana Sang Hyang Pasupati. Pemujaan Sang Hyang Pasupati sebagai media memuja Batara Siwa untuk menguasai sifat-sifat yang disebut Asuri Sampad agar sifat-sifat Dewi Sampad agar eksis mengendalikan hidup ini menuju pengembangan sifat-sifat kedewataan. Karena kecenderungan yang disebut Dewi Sampad dalam Bhagawad Gita akan membawa manusia berlaku mulia bagaikan Dewata.
Pura Prasanak selanjutnya adalah Pura Batu Kembang tempat pemujaan Ratu Mas Melanting dan Ratu Mas Muncar. Selanjutnya Pura Taru Alit sebagai stana Ratu Aji Luwih. Pura Jati sebagai stana Bujanggan Ida Batara. Juga sebagai Prasanak adalah Pura Ratu Subandar sebagai tempat pemujaan umat yang berprofesi sebagai pedagang. Pemujaan selanjutnya barulah menuju pemujaan puncak ke Pura Bukit Mentik.
Upacara Pujawali di Pura Bukit Mentik setiap Sasih Kapat. Sasih Kapat ini adalah sasih di mana alam menghadirkan musim untuk menumbuhkan (mentikan) berbagai tumbuh-tumbuhan bahan makanan, obat-obatan dan juga untuk memelihara tumbuhan yang disebut tanem tuwuh. Tumbuhan hutan sebagai pengayom lingkungan yang memiliki fungsi yang amat luas. Tumbuhan Tanem Tuwuh itu juga dibutuhkan ada di pusat-pusat pemukiman untuk mengurangi polusi udara. * I Ketut Gobyah
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/10/bd1.htm

0 komentar:

Posting Komentar